Posts

Nora Ephron - I Feel Bad About My Neck

Image
Picture by Samuel Becerra from pexels Suka tidak suka, kita akan menjadi tua. Tubuh tidak lagi sama, kulit mulai mengendur, rambut rontok, dan leher -biasanya bergelambir dan sulit untuk ditutupi. Topik yang sering kita hindari ini justru digarap dengan penuh humor oleh Nora Ephron, penulis, jurnalis, sekaligus sutradara film legendaris (When Harry Met Sally, You've Got Mail). Ephron dikenal dengan gaya menulisnya yang jenaka, tajam, dan tanpa basa-basi. Dalam bukunya I Feel Bad About My Neck: And Other Thoughts on Being a Woman , ia menulis kumpulan esai tentang kehidupan perempuan paruh baya: rasa kehilangan, anak-anak yang tumbuh lalu pergi, hingga kegelisahan kecil yang remeh tapi nyata - seperti obsesi pada tas tangan. Namun, jangan bayangkan tulisannya berat dan muram. Ephron justru mengajak kita menertawakan hal-hal yang biasanya membuat perempuan resah. Yang membuat saya jatuh hati adalah, cara bertuturnya yang ringan, namun cerdas. Ia tidak menutupi kekurangan, malah menja...

Pramoedya Ananta Toer - Perempuan-perempuan di Sekitar Pram

Image
Membaca karya-karya Pramoedya Ananta Toer bagi saya bukan sekadar membaca sastra. Ini adalah perjumpaan yang menyakitkan dengan sejarah - dan dengan sisi kemanusiaan yang terlalu sering disisihkan dari pusat narasi. Di dalam karyanya, saya menemukan luka yang tidak dibentangkan secara dramatis, tapi disisipkan perlahan, seperti duri yang tertanam dalam, nyaris tak terlihat tapi terus terasa. Saya membaca Bumi Manusia , Anak Semua Bangsa , Jejak Langkah , Rumah Kaca, Gadis Pantai, Perburuan, Arus Balik, dan juga Panggil Aku Kartini Saja . Buku-buku itu tidak hanya membentangkan sejarah Indonesia dari sudut pandang yang berani dan apa adanya, tapi juga menelusupkan cerita-cerita yang selama ini nyaris tak mendapat tempat: cerita tentang perempuan, tentang ketertindasan yang diam, dan tentang bagaimana sistem mengatur siapa yang boleh bicara, dan siapa yang harus tetap diam. Pram tidak menulsi dari tempat yang aman. Ia menulis dari tanah buangan, dari tempat di mana suara ditindas dan ke...

Hujan Bulan Juni - Sebuah Catatan Tentang Kesetiaan yang Senyap

Image
Hujan Bulan Juni, sebuah catatan tentang kesetian yang senyap. Puisi ini tidak berteriak. Ia tidak datang membawa drama, janji yang meledak-ledak, atau rayuan yang mendayu-dayu. Ia datang perlahan, sebagaimana hujan bulan Juni yang tak seharusnya turun, tapi tetap jatuh juga - diam-diam, tanpa rencana. "Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni," tulis Sapardi. Dan dalam satu baris itu, kita diseret masuk ke dalam perasaan yang tak pernah selesai dibicarakan manusia: rindu yang tak bisa ditunjukkan, cinta yang tidak bisa diucapkan, dan ketulusan yang memilih untuk bertahan -meski tahu tak akan terlihat. Sapardi tidak bicara tentang cinta yang menyala-nyala, tapi tentang cinta yang bertahan dalam senyap. Tentang orang-orang yang tidak masuk dalam kisah romantis, tapi justru tahu persis bagaimana rasanya mencintai -tanpa syarat, tanpa keinginan untuk memiliki, bahkan tanpa harapan untuk dibalas. Ia menulis tentang hujan yang memilih jatuh ... meski tahu kalau tanah tidak b...

If Only They Could Talk – Dunia Kotor, Lucu, dan Aneh yang Diam-diam Menyentuh

Image
Photo by Silvi Aranda fr.pexels Hidup kadang tidak sedramatis yang kita bayangkan. Sering kali, ia hanya berjalan—penuh lumpur, becek, dingin, dan membuat kesal. Itulah hidup yang kita temui di  If Only They Could Talk  ( Andai Mereka Bisa Bicara ), buku pertama dari memoar James Herriot, seorang dokter hewan muda yang bekerja di pelosok pedesaan Yorkshire, Inggris, pada akhir tahun 1930-an—sebuah masa sebelum teknologi dan kemewahan modern menyentuh praktik kedokteran hewan pedesaan. Wilayah Yorkshire digambarkan Herriot sebagai tempat yang keras tapi sekaligus hangat. Perbukitan hijau dengan jalanan sempit berkelok, kandang-kandang tua yang sering kali lembap dan remang, rumah-rumah batu milik petani tua yang lebih percaya pada insting ketimbang sains. Inilah panggung tempat kisah-kisah itu berlangsung—bukan di kota besar, bukan di klinik modern, tapi di kandang sapi, di dapur petani, dan di ladang yang dibekap kabut pagi. Buku ini tidak bercerita tentang kepahlawanan. Tidak...

Nietzsche Zarathustra

Image
                                            Photo by  Pedro Miguel Aires  on  Unsplash “Tuhan telah mati. Tuhan tetap mati. Dan kitalah yang membunuh-Nya.” Saya membaca kalimat itu dalam  Zarathustra , edisi Bahasa Indonesia yang diterjemahkan dengan sangat indah oleh HB Jassin, seorang penulis, editor, dan kritikus sastra hebat Indonesia. Kalimatnya singkat, tapi menyisakan gema panjang. Bukan sekadar provokasi, tapi semacam lonceng yang menandai berakhirnya satu zaman—dan lahirnya sebuah kekosongan yang belum kita pahami sepenuhnya. Dalam bukunya, Nietzsche menuliskan nama  Zarathustra . Ia bukan tokoh fiksi biasa, melainkan seorang pertapa yang turun dari gunung, membawa pesan yang tak ingin didengar siapa pun. Pesannya bukan tentang keselamatan, bukan pula tentang kebenaran absolut. Justru sebaliknya: ia menyampaikan bahwa nilai-nilai lama telah usan...

Days at the Morisaki Bookshop

Image
Photo by  Henry Be  on  Unsplash Baru saja saya selesai membaca Days at the Morisaki Bookshop karya Satoshi Yagisawa-dan merasa hampa, bukan karena ceritanya terlalu sedih melainkan karena buku Days at the Morishaki Bookshop terlalu takut untuk memberikan kesan yang dalam. Buku ini ramai dibicarakan orang sebagai buku yang memberikan kenyamanan, lembut dan menghangatkan, nyatanya hanya berjalan ditepian. Saat mulai menyentuh luka, lalu alur buru-buru berbalik arah. Takako, sang tokoh utama yang ditimpa kehilangan, penghianatan, dan krisis identitas semua itu hanya menjadi latar, bukan substansi. Ia kehilangan arah, lalu tiba-tiba sembuh. Ia terluka, tapi tidak pernah berdarah. Dan pembaca diajak percaya bahwa segalanya akan baik-baik saja, hanya dengan berada di sebuah toko buku kecil yang sepi dan nyaman. Tidak ada proses menjadi sembuh, tidak ada upaya yang berat layaknya orang yang baru saja terpuruk dalam kesedihan dan penghianatan yang menyakitkan. Saat saya membacan...

Welcome to the Grief Club

Image
Pict. from pexels by Lisa Akhirnya, saya memutuskan untuk membeli dan membaca tuntas buku  Welcome to the Grief Club  karya Janine Kwoh. Bukan tanpa alasan—saya hanya tidak lagi mampu menyudahi kesedihan yang telah begitu lama bersarang dalam diri. Saya telah sampai pada titik di mana berbagi duka dengan orang-orang di sekitar terasa semakin mustahil. Tak banyak yang ingin berbicara tentang kesedihan, sementara saya justru merasa tenggelam di dalamnya, terlampau sendiri menanggung beban yang tak kunjung reda. Maka, dengan harapan menemukan pengertian yang tak selalu saya dapatkan dari dunia nyata, saya memilih untuk menjadi bagian dari  klub kesedihan  ini—melalui halaman demi halaman buku tersebut. Membaca  Welcome to the Grief Club  terasa seperti menemukan sahabat di tengah sepi. Buku ini tidak mencoba untuk menghibur dengan kata-kata kosong atau memberikan solusi instan atas kesedihan, tetapi justru menerima duka apa adanya—tanpa terburu-buru, tanpa har...