From: If Only They Could Talk – Dunia Kotor, Lucu, dan Aneh yang Diam-diam Menyentuh
Wilayah Yorkshire digambarkan Herriot sebagai tempat yang keras tapi sekaligus hangat. Perbukitan hijau dengan jalanan sempit berkelok, kandang-kandang tua yang sering kali lembap dan remang, rumah-rumah batu milik petani tua yang lebih percaya pada insting ketimbang sains. Inilah panggung tempat kisah-kisah itu berlangsung—bukan di kota besar, bukan di klinik modern, tapi di kandang sapi, di dapur petani, dan di ladang yang dibekap kabut pagi.
Buku ini tidak bercerita tentang kepahlawanan. Tidak ada dokter cerdas yang menyelamatkan dunia. Tidak ada hewan-hewan yang lucu dan menggemaskan. Yang ada adalah sapi yang sulit melahirkan di kandang becek saat hujan deras turun, milik seorang petani tua yang keras kepala. Tapi justru di situlah letak menariknya buku ini. Bukan tentang betapa kerennya profesi dokter hewan di klinik mentereng dengan pasien-pasien berkelas, tapi tentang kekacauan yang indah dan tulus—yang justru lebih dekat dengan kenyataan hidup banyak orang.
Dalam buku ini, Herriot muda datang dengan idealisme—dan langsung ditampar oleh kenyataan. Ia baru saja lulus dari sekolah kedokteran hewan, membayangkan akan mengobati hewan dengan teknik canggih dan ilmu mutakhir. Tapi kenyataannya: ia lebih sering memasukkan tangannya ke dalam tubuh sapi daripada memegang stetoskop. Ia tidur larut, bangun sangat pagi, dan bekerja tanpa jaminan akan dihargai. Namun Herriot tidak pernah mengeluh. Ia tidak menyalahkan. Ia hanya bercerita—kadang konyol, kadang getir, kadang nyaris absurd. Tapi dari semua itu, kita bisa belajar bahwa profesi dokter hewan bukan semata soal "menyelamatkan hewan" seperti di film-film, tapi juga kerja fisik, emosi, dan kesabaran. Tentang tahu kapan harus mencoba lagi, dan kapan harus membiarkan seekor anjing tua pergi dengan tenang dan damai.
Herriot bukan tokoh heroik. Ia sering gugup, sering salah menilai. Pernah gagal menyelamatkan seekor kuda. Pernah dimarahi petani. Tapi justru karena ia tidak sempurna, kita merasa dekat dengannya. Ia adalah contoh nyata orang muda yang belajar menjalani hidup apa adanya. Dan dari kekacauan itulah, muncul rasa hormat terhadap kehidupan. Herriot tidak mengajari kita cara menjadi dokter hewan. Ia menunjukkan bagaimana menjadi manusia: yang tidak selalu berhasil menolong, tapi tetap hadir dengan hati terbuka.
Karakter-karakter dalam buku ini tidak dibuat-buat. Mereka nyata, tidak dramatis, tapi kuat dalam kesederhanaannya. Siegfried Farnon, si bos impulsif yang bisa sangat bijak di satu saat dan sangat menyebalkan di saat lain. Tristan, adik Siegfried yang santai dan penuh ulah. Para petani Yorkshire yang keras tapi setia. Dan tentu saja, para hewan itu sendiri: sapi, anjing, kuda, babi—yang tidak diberi karakter lucu atau menggemaskan, tapi ditampilkan sebagai makhluk hidup dengan rasa sakit, ketakutan, dan keberanian mereka sendiri.
Seperti seekor anjing tua yang sudah tak bisa berjalan, tapi tetap mencoba berdiri setiap kali tuannya datang. Herriot membiarkan kita melihat itu—tanpa dramatisasi, tanpa kalimat yang dibuat-buat. Kadang dengan sedikit humor getir. Kadang dengan kelelahan yang terasa sampai ke sendi. Tapi selalu dengan ketulusan yang mengalir dari pengamatannya yang penuh perhatian.
Buku ini bukan bacaan yang membangkitkan semangat secara dangkal. Bukan buku motivasi yang menawarkan resep instan. Tapi ia memberi pengingat yang langka: bahwa kerja keras, ketidaktahuan, dan usaha yang dilakukan berulang kali—meski tanpa tepuk tangan—adalah bagian dari hidup. Dunia tidak selalu akan memujimu. Tidak semua pasien sembuh. Tidak semua pekerjaan dihargai. Tapi tetap saja, ada sesuatu yang membuat kita bertahan: rasa hormat pada kehidupan, sekecil apa pun itu.
If Only They Could Talk adalah buku yang tidak menuntut apa-apa dari kita. Ia hanya membuka pintu kecil ke sebuah dunia yang sering luput kita pikirkan—dunia peternakan, dokter hewan, dan makhluk-makhluk hidup yang terus berjuang diam-diam di balik kandang dan ladang.
Dan dalam dunia itu, Herriot ingin berkata bahwa menjadi manusia itu tidak harus hebat. Tidak perlu melakukan aksi heroik. Tidak wajib menjadi pemenang. Jauh lebih penting dari semua itu adalah ketulusan yang hadir—untuk mencoba, untuk peduli, dan untuk terus melakukan yang bisa dilakukan, bahkan ketika tidak ada yang melihat dan saat ternyata hasilnya tidak sempurna. Di dunia yang sibuk memuja hal-hal yang “wah”, Herriot mengajak kita kembali pada hal-hal sederhana: bahwa kebaikan itu nyata, justru ketika ia dilakukan dalam diam, dengan hati yang tulus.
Comments
Post a Comment