Pramoedya Ananta Toer - Perempuan-perempuan di Sekitar Pram
Membaca karya-karya Pramoedya Ananta Toer bagi saya bukan sekadar membaca sastra.
Ini adalah perjumpaan yang menyakitkan dengan sejarah - dan dengan sisi kemanusiaan yang terlalu sering disisihkan dari pusat narasi. Di dalam karyanya, saya menemukan luka yang tidak dibentangkan secara dramatis, tapi disisipkan perlahan, seperti duri yang tertanam dalam, nyaris tak terlihat tapi terus terasa.
Saya membaca Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca, Gadis Pantai, Perburuan, Arus Balik, dan juga Panggil Aku Kartini Saja. Buku-buku itu tidak hanya membentangkan sejarah Indonesia dari sudut pandang yang berani dan apa adanya, tapi juga menelusupkan cerita-cerita yang selama ini nyaris tak mendapat tempat: cerita tentang perempuan, tentang ketertindasan yang diam, dan tentang bagaimana sistem mengatur siapa yang boleh bicara, dan siapa yang harus tetap diam.
Pram tidak menulsi dari tempat yang aman. Ia menulis dari tanah buangan, dari tempat di mana suara ditindas dan kebebasan dikebiri. Setelah peristiwa 1965, ia ditangkap tanpa pengadilan, dibuang ke Pulau Buru, dan dipaksa menjalani hidup sebagai tahanan politik. Tapi justru di tengah keterasingan itulah lahir karya-karya besar seperti Bumi Manusia dan tetraloginya. Dan Pram sepanjang hidupnya selalu menolak tunduk pada sejarah versi penguasa.
Gaya penulisannya lugas, tanpa basa-basi. Tidak banyak metafora, tidak ada selubung puitik yang menenangkan. Tapi justru karena itu, tulisannya terasa seperti kebenaran yang telanjang. Ia tidak sedang merayu pembaca, ia sedang menyodorkan kenyataan - kadang pahit, kadang tak adil.
Yang membuat saya diam cukup lama setelah menutup bukunya bukan tokoh utama lelaki, bukan gejolak politik atau keberpihakan ideologis. Tapi sosok-sosok perempuan yang melintas bagai arus bawah dalam cerita-ceritanya - tidak selalu tampil di permukaan, tapi memikul luka yang dalam.
Gadis Pantai, yang bahkan tak diberi nama, adalah salah satunya. Ia tidak berteriak, tidak melawan. Tapi justru karena itu, penderitaannya lebih menusuk: ia ditarik dari kampungnya, dijadikan istri secara adat, lalu dibuang tanpa kehormatan. Ia mewakili ribuan perempuan yang dijinakkan oleh adat dan sistem, tanpa pernah sempat tahu bahwa mereka punya hak untuk bertanya.
Ada pula Nyai Ontosoroh yang cerdas dan berpikir, tapi tetap ditolak oleh hukum karena statusnya. Ada annelies yang manis, yang diasingkan tanpa suara. Dan ada Kartini dalam Panggil Aku Kartini Saja - bukan sebagai ikon nasionalisme lembut seperti dalam buku pelajaran, tapi sebagai seorang intelektual muda yang memberontak terhadap adat, pendidikan yang diskriminatif, dan hidup dalam sangkar sosial.
Saat membaca mereka, saya bukan hanya sebagai pembaca. Saya ikut masuk ke dalam ruang batin mereka. Saya ikut merasa sedih. Ikut terluka. Ikut merasa tertindas. Karena kisah-kisah itu terlalu dekat. Terlalu nyata. Dan mungkin saja terjadi pada siapa saja yang lahir di tubuh perempuan, dalam masyarakat yang masih banyak menyimpan ketimpangan.
Pram tidak menyebut patriarki. Tapi bagi siapa pun yang membaca dengan hati akan tahu: ketidakadilan yang menimpa perempuan dalam karyanya bukan insiden pribadi. Ia sistemik. Ia dilembagakan. Ia dijaga oleh hukum, oleh adat, oleh logika kekuasaan.
Saya membaca Pram bukan untuk mencari pahlawan. Tapi untuk mengingat bahwa sejarah yang kita pelajari terlalu sering menghapus sisi-sisi gelapnya - terutama yang dialami perempuan. Di tangan Pram, mereka tidak dijadikan simbol. Mereka tetap manusia. Rapuh, marah, bingung, diam, dan tetap terluka, bahkan saat mencintai. Membaca Pram bukan tentang masa lalu. Tapi tentang ketimpangan yang (mungkin) masih hidup di sekitar kita - dalam bentuk yang lebih sopan, lebih rapi, tapi tetap mencabut ruang bagi perempuan untuk berpikir dan memilih. Karya Pram, bukan hanya menuliskan sejarah, tapi membuka luka yang belum sembuh. Luka yang mengajarkan kita untuk tidak lupa.
Comments
Post a Comment