From: Hujan Bulan Juni - Sebuah Catatan Tentang Kesetiaan yang Senyap
Hujan Bulan Juni, sebuah catatan tentang kesetian yang senyap.
Puisi ini tidak berteriak. Ia tidak datang membawa drama, janji yang meledak-ledak, atau rayuan yang mendayu-dayu. Ia datang perlahan, sebagaimana hujan bulan Juni yang tak seharusnya turun, tapi tetap jatuh juga - diam-diam, tanpa rencana.
"Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni," tulis Sapardi. Dan dalam satu baris itu, kita diseret masuk ke dalam perasaan yang tak pernah selesai dibicarakan manusia: rindu yang tak bisa ditunjukkan, cinta yang tidak bisa diucapkan, dan ketulusan yang memilih untuk bertahan -meski tahu tak akan terlihat.
Sapardi tidak bicara tentang cinta yang menyala-nyala, tapi tentang cinta yang bertahan dalam senyap. Tentang orang-orang yang tidak masuk dalam kisah romantis, tapi justru tahu persis bagaimana rasanya mencintai -tanpa syarat, tanpa keinginan untuk memiliki, bahkan tanpa harapan untuk dibalas.
Ia menulis tentang hujan yang memilih jatuh ... meski tahu kalau tanah tidak butuh disiram. Tentang langkah yang harus dihapus ... agar tak membebani orang yang dituju. Tentang kata yang tak diucapkan ... karena terlalu suci untuk dikotori oleh harapan.
Banyak orang menyukai puisi ini karena merasa 'terwakili'. Bagi siapa saja yang sedang diam-diam menyimpan sesuatu yang dalam. Dan (mungkin) Sapardi ingin berkata,
Cinta tidak selalu harus dimenangkan.
Cinta tidak selalu tentang dua orang. Kadang cinta itu ternyata hanya satu arah.
Kadang cinta itu hanya tinggal di hati satu orang saja.
Dan itu tetaplah bernama cinta.
Di zaman yang membingungkan seperti sekarang, puisi ini seperti ruang sunyi yang menenangkan. Ia tidak menyuruh kita untuk melupakan, tidak juga meminta kita untuk bersabar. Ia hanya hadir menemani.
Karena sesungguhnya, tidak ada yang lebih bijak dari cinta yang tahu kapan harus diam.
Comments
Post a Comment