From: Nietzsche Zarathustra
“Tuhan telah mati. Tuhan tetap mati. Dan kitalah yang membunuh-Nya.”
Saya membaca kalimat itu dalam Zarathustra, edisi Bahasa Indonesia yang diterjemahkan dengan sangat indah oleh HB Jassin, seorang penulis, editor, dan kritikus sastra hebat Indonesia. Kalimatnya singkat, tapi menyisakan gema panjang. Bukan sekadar provokasi, tapi semacam lonceng yang menandai berakhirnya satu zaman—dan lahirnya sebuah kekosongan yang belum kita pahami sepenuhnya.
Dalam bukunya, Nietzsche menuliskan nama Zarathustra. Ia bukan tokoh fiksi biasa, melainkan seorang pertapa yang turun dari gunung, membawa pesan yang tak ingin didengar siapa pun. Pesannya bukan tentang keselamatan, bukan pula tentang kebenaran absolut. Justru sebaliknya: ia menyampaikan bahwa nilai-nilai lama telah usang, dan manusia harus belajar hidup tanpa pegangan transenden.
Dunia, menurutnya, tidak lagi punya peta moral yang pasti. Dengan kata lain, kitalah yang bertanggung jawab menciptakan arah dan makna itu sendiri.
Nietzsche, lewat Zarathustra, tidak menawarkan kenyamanan. Ia justru memaksa kita berhadapan dengan ketakutan paling mendasar: bahwa tanpa Tuhan, tanpa sistem nilai lama, kita harus menjadi pencipta atas hidup kita sendiri. Ia tidak sekadar mengumumkan kematian Tuhan, tapi menyampaikan peringatan—bahwa ketika pegangan lama telah runtuh, manusia tak bisa terus hidup dalam kebingungan yang sama. Kita harus mengganti ketergantungan pada nilai-nilai lama dengan keberanian untuk menciptakan nilai-nilai baru—yang otentik, yang lahir dari kesadaran, bukan sekadar warisan.
Namun yang menarik, di balik penolakannya pada nilai-nilai lama, Nietzsche sebenarnya tidak menghina kepercayaan. Ia justru menantang manusia untuk tumbuh dewasa secara eksistensial. Bukan hidup dalam kepatuhan membuta, tetapi dalam tanggung jawab sadar.
Nietzsche tidak memberikan jawaban. Ia hanya bertanya ulang, lebih dalam. Ia tidak menyuruh kita percaya, tapi meminta kita bertanggung jawab. Dan dalam dunia yang penuh kebisingan dan pencitraan seperti sekarang, kadang yang paling kita butuhkan memang bukan nasihat, melainkan keberanian untuk melihat hidup kita sendiri.
Transisi pemikiran Nietzsche ke zaman kita hari ini terasa makin relevan. Kita hidup di tengah informasi yang melimpah, namun sering kehilangan arah. Kita dibanjiri opini, standar, dan gambaran hidup ideal—namun seringkali lupa bertanya: nilai siapa sebenarnya yang sedang saya kejar? Hidup siapa yang sedang saya jalani?
Di titik ini, pertanyaan yang dulu dikumandangkan Nietzsche kembali mengemuka:
Jika benar Tuhan telah mati, sebagaimana yang Nietzsche gambarkan, maka pertanyaan selanjutnya adalah: bisakah manusia benar-benar hidup tanpa Tuhan? Menjadi pencipta bagi dirinya sendiri? Tanpa sumber makna yang lebih tinggi, tanpa arah yang melampaui dirinya sendiri?
Inilah yang kemudian menjadi ruang refleksi bagi saya secara pribadi. Membaca Zarathustra tidak membuat saya menjauh dari Tuhan—justru menjadi jembatan penghubung ke dalam diri sendiri. Karena semakin saya membaca, semakin saya sadar bahwa manusia tidak sanggup hidup tanpa makna sejati.
Kita bisa meragukan bentuk-bentuk keyakinan lama, bahkan mempertanyakan Tuhan dalam bentuk yang pernah dikenalkan sejak kecil. Tapi jauh dalam diri, ada kerinduan yang tidak bisa dibungkam. Kerinduan untuk percaya bahwa hidup ini bukan sekadar kebetulan, bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari kita—yang memberi arah, nilai, dan tujuan.
Manusia bisa mencoba berdiri sendiri. Tapi pada akhirnya, kita tetap makhluk pencari makna. Dan makna seperti itu… hanya mungkin ditemukan dalam relasi—bukan dengan sistem, bukan dengan doktrin, melainkan relasi yang hidup dengan Tuhan.
“Barangkali, bukan karena Tuhan telah mati,
melainkan karena kita belum selesai mencari-Nya
dalam kehilangan, luka, dan cinta yang tak kunjung kita pahami.”
Comments
Post a Comment