Keigo Higashino - Malice
Beberapa waktu lalu, saya pergi ke toko buku. Di rak, berderet nama Keigo Higashino - penulis asal Jepang yang konon dijuluki "raksasa" dalam dunia misteri modern. Ada banyak judul, dengan sampul-sampul yang menarik. Saya memilih satu: Malice. Sebuah kata sederhana yang artinya "niat jahat".
Sudah lama saya tidak membaca novel misteri yang membuat saya berhenti sejenak hanya untuk berpikir; mengapa penulis menulis cara ini? Biasanya, misteri memancing kita menebak siapa pelakunya. Tapi dalam Malice karya Keigo Higashino, ia memilih arah berbeda. Bukan tentang siapa, melainkan mengapa. Sebuah pergeseran sederhana yang ternyata mengubah seluruh pengalaman membaca.
Kisahnya dimulai dengan kematian Kunihiko Hidaka, seorang penulis terkenal. Ia ditemukan tewas di rumahnya oleh istri dan sahabatnya, Osamu Nonoguchi. Dalam waktu singkat, pelakunya terungkap, dan bahkan mengaku. Seolah semua sudah selesai. Tapi detektif Kaga, dengan ketenangan dan kecermatannya mulai menyisir ulang peristiwa tersebut -bukan untuk mencari pelaku, melainkan untuk memahami motif sesungguhnya.
Di titik inilah Higashino menunjukkan kecerdasannya. Ia tidak bermain dengan kejutan-kejutan murahan, melainkan dengan lapisan psikologis yang kompleks. Ia membiarkan pembaca - saya, menonton dua orang yang tampak bersahabat saling menyimpan kebohongan kecil, yang perlahan membentuk niat jahat besar. Ceritanya bergerak dengan tenang, tapi setiap halaman terasa seperti ada sesuatu yang bergeser di bawah permukaan.
Saya menyukai hampir segalanya dalam buku ini: premis yang kuat, karakter yang hidup tanpa dibuat-buat, dan gaya narasi Higashino yang sederhana namun penuh perhitungan. Kalimatnya tak berlebihan, tapi punya daya tekan yang panjang. Ia menulis seperti seseorang yang tak butuh menarik perhatian, karena yakin pembaca akan datang dengan sendirinya.
Namun, ada satu hal yang membuat saya tak sepenuhnya larut, fakta bahwa pelaku diungkap sejak awal. Setelah itu, pembaca tidak lagi digoda oleh rasa ingin tahu tentang siapa, melainkan hanya diajak menyelami mengapa. Secara intelektual, ini menantang. Tapi secara emosional, ritmenya terasa menurun. Ada bagian di mana misterinya terlalu rapi, terlalu terkontrol, seakan emosi pembaca ikut disetir oleh logika naratif. Saya ingin sedikit lebih banyak kegelisahan di sana, sedikit ketidaksempurnaan yang membuat kita ikut bergetar.
Meski begitu, keputusan naratif itu punya keunikan sendiri. Dengan menempatkan pembaca bukan sebagai detektif, tapi sebagai saksi, Higashino berhasil mengubah dinamika novel ini. Kita tidak lagi berburu jawaban, tapi menimbang-nimbang kebenaran. Sampai di titik tertentu, kita bertanya: mungkinkah kejahatan lahir dari sesuatu yang sebetulnya pernah kita rasakan juga - rasa iri, rasa kalah, atau rasa ingin diakui?
Mungkin karena itu pula saya merasa Malice akan sangat cocok jika diadaptasi ke layar lebar. Ceritanya punya ritme visual yang kuat. Keheningan yang menegangkan, tatapan yang menyimpan dendam, dan dialog yang mengandung lebih banyak rahasia. Dalam media film, motif dan ekspresi bisa bicara tanpa perlu penjelasan panjang, memberi ruang pada penonton untuk menafsir.
Pada akhirnya, Malice adalah sebuah cerita misteri yang menarik. Ia tidak menjerat kita dengan plot twist, melainkan dengan kesunyian yang menekan. Novel ini mengingatkan bahwa kejahatan tidak selalu berawal dari amarah, kadang ia tumbuh diam-diam disiram oleh rasa kecil yang tak pernah kita akui.
Membacanya seperti menatap cermin yang tidak terlalu jujur - tapi cukup jernih untuk membuat kita berpikir dua kali sebelum menilai siapa yang benar-benar bersalah.

Wah sama saya juga uda baca novel keigo yang ini
ReplyDeleteJadi buku favorit Mba Istiqomah kah buku Malice ini? :) Lain kali, kita baca apa lagi ya?
Delete