Tozikazhu Kawaguchi Before The Coffee Gets Cold

Photo by Caio : https://www.pexels.com/photo/black-and-grey-ceramic-cup-with-hot-coffee-69975/


Setiap orang , di satu titik dalam hidupnya, pasti pernah berharap bisa kembali ke masa lalu. 

Hanya sekali saja - untuk memperbaiki sesuatu yang salah, mengucapkan kata yang yang tak sempat diucapkan, atau mengambil keputusan yang dulu terasa keliru. Kita meyakini bahwa jika masa lalu bisa diperbaiki, maka masa depan pun akan berubah menjadi lebih baik.


Namun dalam Before The Coffee Gets Cold karya Toshikazu Kawaguchi justru mematahkan keyakinan itu. 

Dalam dunia kecil sebuah kafe bernama Funiculi Funicula, orang memang bisa kembali ke masa lalu. Tapi dengan satu aturan: masa depan tidak akan berubah. Apa pun yang dilakukan, apa pun yang diucapkan, hasil akhirnya akan tetap sama. Takdir berjalan sebagaimana mestinya. Premis ini menarik—bahkan provokatif—karena sejak awal ia menolak ilusi bahwa hidup bisa “diperbaiki”.

Justru karena premisnya sekuat itu, saya berharap buku ini memberi pijakan emosional yang lebih kokoh.

Harapan itu sempat muncul lewat Fumiko, perempuan yang baru saja ditinggalkan kekasihnya, Goro, yang tiba-tiba memutuskan pindah ke Amerika. Patah hatinya terasa nyata dan dekat. Kedatangannya ke kafe itu masuk akal: ia ingin kembali ke satu percakapan terakhir, berharap kata-kata yang berbeda bisa mencegah perpisahan. Di titik ini, saya mengira inilah cerita yang akan digali—tentang seorang perempuan, satu relasi, satu luka.

Namun ternyata tidak.

Fumiko tidak pernah benar-benar dijadikan pusat. Ia hanyalah pembuka, fragmen pertama dari rangkaian kisah lain. Setelah itu, novel berpindah ke tokoh-tokoh berbeda, dengan latar dan masalah yang berbeda, tetapi dengan pola yang nyaris identik: kembali ke masa lalu, mengucapkan sesuatu yang tertunda, lalu pulang ke masa kini yang tetap sama.

Secara alur, buku ini repetitif dan mekanis. Setiap cerita mengikuti struktur yang serupa—datang ke kafe, mendengar aturan, duduk di kursi tertentu, kembali ke masa lalu, lalu kembali lagi sebelum kopi menjadi dingin. Tidak ada eskalasi konflik. Tidak ada pertaruhan yang meningkat. Semuanya berjalan aman, rapi, dan nyaris terlalu terkendali.

Masalahnya, pengulangan ini bukan hanya pilihan bentuk, tapi juga membatasi kedalaman. Penokohan di buku ini tidak dikembangkan untuk tumbuh atau berubah, melainkan sekadar menjadi wadah bagi satu emosi tertentu: penyesalan, kehilangan, cinta yang terlambat. Setelah emosi itu disampaikan, tokoh pun selesai. Kita tidak diajak tinggal lebih lama bersama mereka, apalagi menyelami kompleksitasnya.

Gaya penulisan Kawaguchi memperkuat kesan ini. Bahasanya sederhana, dialogis, hampir tanpa lapisan. Ia menolak dramatika, menolak puitisasi, dan memilih jarak. Di satu sisi, ini membuat buku terasa jujur dan tidak manipulatif. Namun di sisi lain, jarak itu juga membuat emosi kerap berhenti tepat sebelum benar-benar menggigit.

Di titik ini, kritik saya menjadi jelas:
buku ini memiliki gagasan yang kuat, tapi memilih untuk tidak mendorongnya sejauh mungkin.

Before the Coffee Gets Cold lebih tertarik pada konsep ketimbang konsekuensi emosionalnya. Ia menawarkan refleksi, tetapi tidak memberi ruang bagi pembaca untuk tenggelam. Sebagai pembaca, saya tidak pernah benar-benar kehilangan satu tokoh—karena saya tidak sempat cukup dekat dengan siapa pun.

Pada akhirnya, buku ini memang seperti kunjungan singkat ke sebuah kafe. Kita duduk sebentar, mendengar cerita orang lain di meja sebelah, lalu pergi. Ada kehangatan sesaat, ada pikiran yang tertinggal, tapi tidak ada ikatan yang membuat kita ingin kembali lagi.

Mungkin ini memang pilihan artistik yang disengaja. Namun sebagai pembaca, saya tidak bisa menepis rasa bahwa buku ini berhenti terlalu cepat. Ia menyentuh banyak luka, tapi jarang tinggal cukup lama di satu titik. Padahal, dengan premis sekuat ini, buku ini sebenarnya bisa melangkah lebih jauh—lebih dalam, lebih berani, dan lebih jujur pada rasa sakit yang ia bawa.



Comments

Popular posts from this blog

Nietzsche Zarathustra

If Only They Could Talk – Dunia Kotor, Lucu, dan Aneh yang Diam-diam Menyentuh

Pramoedya Ananta Toer - Perempuan-perempuan di Sekitar Pram