From: Days at the Morisaki Bookshop

Photo by Henry Be on Unsplash


Baru saja saya selesai membaca Days at the Morisaki Bookshop karya Satoshi Yagisawa-dan merasa hampa, bukan karena ceritanya terlalu sedih melainkan karena buku Days at the Morishaki Bookshop terlalu takut untuk memberikan kesan yang dalam. Buku ini ramai dibicarakan orang sebagai buku yang memberikan kenyamanan, lembut dan menghangatkan, nyatanya hanya berjalan ditepian.

Saat mulai menyentuh luka, lalu alur buru-buru berbalik arah. Takako, sang tokoh utama yang ditimpa kehilangan, penghianatan, dan krisis identitas semua itu hanya menjadi latar, bukan substansi. Ia kehilangan arah, lalu tiba-tiba sembuh. Ia terluka, tapi tidak pernah berdarah. Dan pembaca diajak percaya bahwa segalanya akan baik-baik saja, hanya dengan berada di sebuah toko buku kecil yang sepi dan nyaman.

Tidak ada proses menjadi sembuh, tidak ada upaya yang berat layaknya orang yang baru saja terpuruk dalam kesedihan dan penghianatan yang menyakitkan. Saat saya membacanya, semua tampak sederhana dan mudah. 

Saya tidak mempermasalahkan buku yang nyaman, tenang dan 'menyembuhkan jiwa', tapi saya kecewa pada ketenangan yang palsu. Pada narasi yang dibangun bukan dari keberanian untuk menelusuri ruang-ruang gelap jiwa, melainkan dari keinginan agar semuanya tetap terlihat 'manis'. Buku ini tidak memberi ruang pada keraguan, tak membuka pintu bagi pertanyaan yang menyakitkan, atau emosi yang kusut masai. Semua dikemas 'terlalu rapi'.

Mungkin itulah yang paling mengusik: Days at the Morisaki Bookshop, yang terlalu takut untuk menampilkan jiwa-jiwa yang terluka secara emosional. Terlalu mengandalkan atmosfer -bau buku tua, lampu temaram, kopi hangat- tanpa cukup keberanian untuk menunjukkan betapa kacaunya proses untuk menjadi sembuh dari luka. Hasilnya adalah buku yang estetis, tapi hampa. Nyaman, tapi tidak meninggalkan kesan dalam.

Rasanya, buku Days at the Morisaki Bookshop bukan untuk saya. Saya menginginkan buku yang berani menatap luka, duduk bersamanya, dan berkata:"aku tidak tahu kapan luka ini sembuh". Buku yang tidak hanya menenangkan, tapi mengafirmasi bahwa kesedihan itu benar adanya, bahwa keretakan itu bagian dari kita.

Jadi ya, saya pikir buku ini overrated. Ia terlalu ringan untuk benar-benar menyentuh luka. Terlalu aman untuk membekas. Dan terlalu rapi untuk menggambarkan kekacauan yang sebenarnya menyatukan diri kita sebagai manusia.

Comments

Popular Posts