Posts

Showing posts from June, 2025

Nietzsche Zarathustra

Image
                                            Photo by  Pedro Miguel Aires  on  Unsplash “Tuhan telah mati. Tuhan tetap mati. Dan kitalah yang membunuh-Nya.” Saya membaca kalimat itu dalam  Zarathustra , edisi Bahasa Indonesia yang diterjemahkan dengan sangat indah oleh HB Jassin, seorang penulis, editor, dan kritikus sastra hebat Indonesia. Kalimatnya singkat, tapi menyisakan gema panjang. Bukan sekadar provokasi, tapi semacam lonceng yang menandai berakhirnya satu zaman—dan lahirnya sebuah kekosongan yang belum kita pahami sepenuhnya. Dalam bukunya, Nietzsche menuliskan nama  Zarathustra . Ia bukan tokoh fiksi biasa, melainkan seorang pertapa yang turun dari gunung, membawa pesan yang tak ingin didengar siapa pun. Pesannya bukan tentang keselamatan, bukan pula tentang kebenaran absolut. Justru sebaliknya: ia menyampaikan bahwa nilai-nilai lama telah usan...

Days at the Morisaki Bookshop

Image
Photo by  Henry Be  on  Unsplash Baru saja saya selesai membaca Days at the Morisaki Bookshop karya Satoshi Yagisawa-dan merasa hampa, bukan karena ceritanya terlalu sedih melainkan karena buku Days at the Morishaki Bookshop terlalu takut untuk memberikan kesan yang dalam. Buku ini ramai dibicarakan orang sebagai buku yang memberikan kenyamanan, lembut dan menghangatkan, nyatanya hanya berjalan ditepian. Saat mulai menyentuh luka, lalu alur buru-buru berbalik arah. Takako, sang tokoh utama yang ditimpa kehilangan, penghianatan, dan krisis identitas semua itu hanya menjadi latar, bukan substansi. Ia kehilangan arah, lalu tiba-tiba sembuh. Ia terluka, tapi tidak pernah berdarah. Dan pembaca diajak percaya bahwa segalanya akan baik-baik saja, hanya dengan berada di sebuah toko buku kecil yang sepi dan nyaman. Tidak ada proses menjadi sembuh, tidak ada upaya yang berat layaknya orang yang baru saja terpuruk dalam kesedihan dan penghianatan yang menyakitkan. Saat saya membacan...

Welcome to the Grief Club

Image
Pict. from pexels by Lisa Akhirnya, saya memutuskan untuk membeli dan membaca tuntas buku  Welcome to the Grief Club  karya Janine Kwoh. Bukan tanpa alasan—saya hanya tidak lagi mampu menyudahi kesedihan yang telah begitu lama bersarang dalam diri. Saya telah sampai pada titik di mana berbagi duka dengan orang-orang di sekitar terasa semakin mustahil. Tak banyak yang ingin berbicara tentang kesedihan, sementara saya justru merasa tenggelam di dalamnya, terlampau sendiri menanggung beban yang tak kunjung reda. Maka, dengan harapan menemukan pengertian yang tak selalu saya dapatkan dari dunia nyata, saya memilih untuk menjadi bagian dari  klub kesedihan  ini—melalui halaman demi halaman buku tersebut. Membaca  Welcome to the Grief Club  terasa seperti menemukan sahabat di tengah sepi. Buku ini tidak mencoba untuk menghibur dengan kata-kata kosong atau memberikan solusi instan atas kesedihan, tetapi justru menerima duka apa adanya—tanpa terburu-buru, tanpa har...